Sebaik-baik dari kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya (H.R. Bukhari)

Minggu

Benarkah ada larangan dalam mengungkap hasil diagnosa dari suatu gejala gangguan?

Menjawab pertanyaan dalam suatu majelis,
Benarkah ada larangan dalam mengungkap hasil diagnosa dari suatu gejala gangguan? (Dalam Ruqyah atau Terapi lainnya)
 
- Nabi shallaLLaahu 'alaihi wasallam mencontohkan dalam menyampaikan hasil analisa beliau kepada satu keluarga yang anaknya kurus bahwa anaknya itu membutuhkan ruqyah karena gangguan 'ain.
- Beliau shallaLLaahu 'alaihi wasallam juga menyarankan kepada ibunda 'Aisyah radhiyaLLaahu 'anhaa agar meruqyahkan dirinya karena 'ain.
- Beliau shallaLLaahu 'alaihi wasallam sendiri diberitahu oleh dua malaikat bahwa beliau terkena sihir, bahkan informasi itu lengkap secara detailnya.
- Saat sahabat Sahal bin Hunaif radhiyaLLaahu 'anhu terpelanting jatuh dan kondisinya kritis, beliau bertanya ke para sahabat: siapa yang menyebabkannya? (maksudnya sebab karena 'ain)..  dan itu dilakukan di depan banyak orang.

Jangan sampai kita membatasi sesuatu yang kesannya memutlakkan sebagai larangan sementara tidak ada nash yang memutlakkan pelarangan itu. 

Jadi, yg lebih pas itu bukan dilarang, tetapi agar berhati-hati.. 
Proporsional dan berhati-hati dalam mengungkapkan hasil diagnosa suatu gangguan

- Perlu kecermatan dalam analisa,
- Pertimbangkan kesiapan klien dan keluarganya saat menerima hasil diagnosa,
- Pilih kalimat yg aman dan nyaman utk menyampaikannya,
- Belum tentu semua konten analisa (hasil anamnesa-diagnosa) bisa disampaikan di saat bersamaan waktunya. Perlu bertahap.

Persoalan ghaib yang dimaksud dalam gangguan kalau dicermati bukanlah ghaib yang mutlak dilarang untuk dianalisa. Perlu dipahami bahwa persoalan ghaib dibagi menjadi 2, yaitu Ghaib Mutlak dan Ghaib Nisbi.
Jangan sampai salah dalam menempatkan masing-masingnya.

Contoh ghaib Nisbi (ghaib bagi sebagaian orang tetapi tidak bagi orang lain).

Barangkali, selain luka terbuka di permukaan kulit karena kecelakaan, maka bagi orang awam hampir semua sebab penyakit yang dirasakan adalah ghaib (tidak tampak secara inderawi). Tapi bagi orang tertentu itu bukan sesuatu yang ghaib. Yang ahli penyakit dalam, ahli mikroba, ahli saraf.. tanpa menunggu hasil laborat-pun tidak sedikit yang sudah bisa menyimpulkan penyebabnya. Hasil laboratorium untuk lebih memastikan akurasi perkiraannya.

Persoalannya, apakah hasil analisa itu mutlak dilarang untuk disampaikan kepada klien+keluarganya dan hanya cukup bagi terapis/dokternya saja?
Jawabannya, ini adalah boleh. Bisa disampaikan bisa juga tidak. Bisa disampaikan sebagian atau seluruhnya. Bukan mutlak larangan.
Jika ada keadaan yang berakibat negatif kepada klien karena disampaikan hasil diagnosa, maka itu adalah kasus yang memerlukan evaluasi di kasus itu terkait dengan cara atau momentumnya. Bukan terburu membuat sikap dan kesimpulan sebagai suatu yang terlarang untuk dilakukan.

Tanda-tanda gejala gangguan seperti 'Ain dan sihir banyak ditulis oleh para ulama yang juga terapis. Itu menunjukkan bahwa gangguan ghaib semacam itu bisa dianalisa. Pola umumnya bisa dibaca, disimpulkan, diklasifikasi hingga dijadikan kaidah. Baik secara umum dan secara khusus.

Hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan karena semua itu adalah makhluk ALLaah subhaanahu wa ta'aalaa yang tidak akan keluar dari sunnahNya, suatu hukum peristiwa yang tetap dan berulang-ulang. Dan jika ada perkembangan baru yang terjadi maka itu hanya berganti metode dan penamaan saja. Orang-orang yang tekun mengamati akan tetap bisa mengetahuinya, bi idzniLLaah.

Bahkan gangguan yang sebetulnya jauh lebih halus daripada penyakit-penyakit badan yaitu dalam bentuk penyesatan itupun jelas tanda-tandanya.

Maka, sekali lagi Tidak Ada Larangan Menyampaikan Hasil Diagnosa kepada orang yang diterapi baik dalam urusan Ruqyah maupun pengobatan lainnya. Yang perlu adalah Proporsional dan Kehati-hatian.


H. Riyadh Rosyadi

Merindukan yang bukan mahrom apakah ada keterlibatan jin?

Tanya-Jawab (WA Group TQ)

1. Apa hukumnya merindukan seseorang yang bukan mahrom? 
2. Dan apakah kerinduan itu ada keterlibatan jin di dalamnya? Mohon penjelasannya ustadz.


Jawab

Sesuatu itu dimulai dari niatnya.

Amal baik dihitung sebagai kebaikan jika niatnya juga baik.
Amal yang diketahuinya buruk/batil tidak bisa menjadi baik sekalipun diniatkan baik. Yang membedakan bobot antara dua keburukan yang sama diantaranya adalah adanya kesengajaan niat ataukah tidak.

Niat baik yang belum sempat terealisir sebagai tindakan kebaikan sudah dihitung seolah sudah melakukan kebaikan.
Keburukan itu blm dihitung jika masih sebagai lintasan kecuali setelah menjadi suatu amal, atau sekurangnya menjadi tekad kuat ('azzam).

Merindukan itu tergantung:
•  Dalam niat apa dan
• Dalam batas baru lintasan ataukah sudah sampai ke 'azzam?

Jika dalam niat yang mengarah kepada sesuatu yang tidak diridhai ALLaah swt maka itu tidak boleh. Harus ditahan dan atau diarahkan.
Dan jika berulang-ulang kepada suatu hal yang dilarang itu bahkan sudah sampai ke azzam, maka sangat mungkin sudah menetap gangguan jin di dalamnya.

Dan terfokusnya perhatian yang kuat atas sesuatu bisa melepas nafs seseorang kepada sesuatu itu. Jika perhatian yang kuat itu kepada sesuatu yang haram atau sesuatu yang mubah tetapi berlebihan maka nafsnya bisa menjadi tawanan syaitan.

Jika perhatian kuatnya itu bukan haram atau bukan mubah yang berlebihan tetapi lupa tidak disertai doa keberkahan, maka bisa menjadi potensi 'ain yang terlempar kepada sesuatu itu.

WaLLaahu a'lam. 

H. Riyadh Rosyadi

Jumat

Pacaran dan Kehadiran Jin

Tanya
Apakah pacaran itu ada kerjaan (syaitan) jin juga di situ?

Jawaban
Jika yang dimaksud dengan pacaran itu dalam definisi berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram dalam urusan tertentu dan dalam waktu tertentu yang menyebabkan perasaan-jiwa terpaut, maka ini harus diperhatikan adab agama dalam urusan interaksi dengan lain jenis yang bukan mahram..

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ.

AbduLLaah bin Abbas radhiyaLLaahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallaLLaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama dengan mahram”
(HR. Bukhari)


أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضي الله عنه: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-:لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

Umar bin Khaththab radhiyaLLaahu ‘anhu meriwayatkan bahwa RasuluLlaah shallaLLaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita melainkan ketiganya adalah setan"
(HR. Ahmad)

Dalam hadits di atas, jelas itu adalah sesuatu yang dilarang secara syariat dan sekaligus penjelasan adanya intervensi syaitan jin dalam interaksi tersebut.

Sebagai tambahan dan ini sudah pernah dijelaskan dalam pelatihan bahwa sebab terlepasnya nafs/sukma itu diantaranya karena ketertarikan yang amat sangat dengan sesuatu yang haram atau sesuatu yang mubah tetapi sangat berlebihan..

Dan terlepas nya nafs itu karena beberapa hal berikut:
1. Perjanjian (nasab maupun kasab)
2. Paksaan (seperti sihir)
3. Tekanan jiwa/fisik yang sangat kuat dan karena benturan kuat (seperti kecelakaan)
4. Ketertarikan dengan sesuatu yang diharamkan atau yang mubah tetapi sangat berlebihan.

WaLLaahu a'lam 

Untuk jelasnya, silakan dipelajari tautan berikut..

http://terapiquran2015.blogspot.co.id/search?q=Nafs+sukma.